Riwayat
Nama lengkap
dari Gareng sebenarnya adalah Nala Gareng, hanya saja masyarakat sekarang lebih akrab dengan sebutan “Gareng”.
Gareng
adalah punakawan yang berkaki pincang. Hal ini merupakan sebuah sanepa dari sifat Gareng sebagai
kawula yang selalu hati-hati dalam bertindak. Selain itu, cacat fisik Gareng
yang lain adalah tangan yang ciker
atau patah. Ini adalah sanepa bahwa Gareng memiliki sifat tidak suka mengambil
hak milik orang lain. Diceritakan bahwa tumit kanannya terkena semacam penyakit bubul.
Dalam suatu carangan Gareng pernah menjadi raja
di Paranggumiwayang
dengan gelar Pandu
Pragola. Saat itu dia berhasil mengalahkan Prabu Welgeduwelbeh
raja dari Borneo yang tidak lain adalah penjelmaan dari saudaranya
sendiri yaitu Petruk.
Dulunya, Gareng
berujud satria tampan bernama Bambang
Sukodadi dari pedepokan Bluktiba. Gareng sangat sakti namun sombong,
sehingga selalu menantang duel setiap satria yang ditemuinya. Suatu hari, saat
baru saja menyelesaikan tapanya, ia berjumpa
dengan satria lain bernama Bambang
Panyukilan. Karena suatu kesalahpahaman, mereka malah berkelahi. Dari
hasil perkelahian itu, tidak ada yang menang dan kalah, bahkan wajah mereka
berdua rusak. Kemudian datanglah Batara Ismaya (Semar) yang
kemudian melerai mereka. Karena Batara Ismaya ini adalah pamong para satria Pandawa yang
berjalan di atas kebenaran, maka dalam bentuk Jangganan Samara Anta, dia (Ismaya) memberi nasihat kepada kedua
satria yang baru saja berkelahi itu.
Karena kagum
oleh nasihat Batara Ismaya, kedua satria itu minta mengabdi dan minta diaku
anak oleh Lurah Karang Kadempel,
titisan dewa (Batara Ismaya) itu. Akhirnya Jangganan Samara Anta bersedia
menerima mereka, asal kedua satria itu mau menemani dia menjadi pamong para
kesatria berbudi luhur (Pandawa), dan akhirnya mereka berdua
setuju. Gareng kemudian diangkat menjadi anak tertua (sulung) dari Semar.
Pangeran Antasari (lahir di Kayu Tangi, Kesultanan Banjar, 1797 atau 1809
– meninggal di Bayan Begok, Hindia-Belanda, 11 Oktober 1862 pada umur 53 tahun) adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia.
Ia adalah Sultan Banjar. Pada 14 Maret 1862, beliau dinobatkan sebagai pimpinan
pemerintahan tertinggi di Kesultanan Banjar (Sultan Banjar) dengan menyandang
gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin dihadapan para kepala suku Dayak
dan adipati (gubernur) penguasa wilayah Dusun Atas, Kapuas dan Kahayan yaitu Tumenggung
Surapati/Tumenggung Yang Pati Jaya Raja.
Perlawanan terhadap Belanda
Perang Banjar pecah saat Pangeran Antasari dengan 300
prajuritnya menyerang tambang batu bara milik Belanda di Pengaron tanggal 25 April 1859. Selanjutnya peperangan demi peperangan
dipkomandoi Pangeran antasari di seluruh wilayah Kerajaan Banjar. Dengan dibantu
para panglima dan pengikutnya yang setia, Pangeran Antasari menyerang pos-pos
Belanda di Martapura, Hulu Sungai, Riam Kanan, Tanah Laut,
Tabalong, sepanjang sungai Barito sampai ke Puruk Cahu.
Pertempuran
yang berkecamuk makin sengit antara pasukan Khalifatul Mukminin dengan pasukan
Belanda, berlangsung terus di berbagai medan. Pasukan Belanda yang ditopang
oleh bala bantuan dari Batavia dan persenjataan modern, akhirnya berhasil
mendesak terus pasukan Khalifah. Dan akhirnya Khalifah memindahkan pusat
benteng pertahanannya di Muara Teweh.
Berkali-kali
Belanda membujuk Pangeran Antasari untuk menyerah, namun beliau tetap pada
pendirinnya. Ini tergambar pada suratnya yang ditujukan untuk Letnan Kolonel Gustave Verspijck di Banjarmasin tertanggal 20 Juli 1861.
Meninggal dunia
Setelah
berjuang di tengah-tengah rakyat, Pangeran Antasari kemudian wafat di
tengah-tengah pasukannya tanpa pernah menyerah, tertangkap, apalagi tertipu
oleh bujuk rayu Belanda pada tanggal 11 Oktober 1862 di Tanah Kampung Bayan
Begok, Sampirang,
dalam usia lebih kurang 75 tahun. Menjelang wafatnya, beliau terkena sakit
paru-paru dan cacar yang dideritanya setelah terjadinya pertempuran di bawah
kaki Bukit Bagantung, Tundakan.
Perjuangannya dilanjutkan oleh puteranya yang bernama Muhammad Seman.
Setelah
terkubur selama lebih kurang 91 tahun di daerah hulu sungai Barito, atas
keinginan rakyat Banjar dan persetujuan keluarga, pada tanggal 11 November 1958 dilakukan pengangkatan kerangka Pangeran
Antasari. Yang masih utuh adalah tulang tengkorak, tempurung lutut dan beberapa
helai rambut. Kemudian kerangka ini dimakamkan kembali Taman Makam Perang Banjar,
Kelurahan Surgi Mufti,
Banjarmasin.
Pangeran
Antasari telah dianugerahi gelar sebagai Pahlawan Nasional dan Kemerdekaan oleh
pemerintah Republik Indonesia berdasarkan SK No. 06/TK/1968 di Jakarta,
tertanggal 27 Maret 1968. Nama Antasari diabadikan pada Korem
101/Antasari dan julukan untuk Kalimantan Selatan yaitu Bumi Antasari. Kemudian untuk lebih
mengenalkan P. Antasari kepada masyarakat nasional, Pemerintah melalui Bank
Indonesia (BI) telah mencetak dan mengabadikan nama dan gambar Pangeran
Antasari dalam uang kertas nominal Rp 2.000